Transformasi Energi Dunia dan Pengaruhnya terhadap Tantangan Ketahanan Energi Indonesia Tahun 2030


“Transformasi Energi Dunia dan Pengaruhnya terhadap Tantangan Ketahanan Energi Indonesia Tahun 2030”

Oleh: Pahruroji
         
Energi merupakan penunjang primer bagi kehidupan manusia mulai dari hal yang sifatnya kecil seperti kegiatan makan dan minum untuk melakukan aktivitas, sampai kepada hal yang sifatnya umum dan kompleks seperti ketersediaan bahan bakar, kepentingan transportasi serta ketersediaan listrik yang menyokong hampir segala aspek kehidupan. Hampir semua sumber energi yang digunakan adalah energi yang berasal dari fosil misalnya batu bara, minyak bumi dan gas bumi. Dewan Energi Nasional (DEN) mendefinisikan ketahanan energi sebagai suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi pada harga terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup (DEN, 2015).

Sekitar 90% sumber energi masih dikuasai oleh energi fosil dimana energinya dihasilkan dari timbunan material organik yang mengalami proses yang sangat panjang dan terjadi dalam suhu dan tekanan yang tinggi jauh di dalam perut bumi. Proses yang lama menandakan bahwa suatu saat cadangan energi fosil akan habis karena waktu regenerasi minyak yang terbentuk tidak sebanding dengan pesatnya eksploitasi. Diperkirakan cadangan migas yang ada sekarang akan habis dalam kurun waktu 11,6 tahun jika tidak ditemukan cadangan baru.[1]
 
Indonesia termasuk negara yang memiliki ketahanan yang rapuh akan energi. Indonesia sempat  menempati peringkat ke-69 dari total 129 negara terkait dengan ketahanan akan energi tahun 2014 yang dikeluarkan oleh World Energy Council. Indonesia dianggap belum memiliki cadangan strategis ataupun cadangan penyangga energi. Sebagai akibat dari eksploitasi energi yang pesat diiringi dengan peningkatan populasi yang tidak seimbang meyebabkan krisis energi khususnya di Indonesia

Dewan Energi Nasional telah mengeluarkan rilis pada tahun 2014 rasio penggantian cadangan minyak dan gas bumi (reserve replacement ratio) mencapai 49,75%, artinya dari 100 barel minyak yang diproduksi hanya bisa ditemukan cadangan minyak sebesar 49,75 barel. Ratio penggantian cadangan ini lebih rendah dari patokan tertinggi yang nilai seharusnya > 1. Ratio penggantian cadangan 2014 ini jauh lebih rendah dari tahun 2013 lalu yang masih berada di angka 81,7 %. Berdasarkan potret situasi ini, maka dapat dikatakan bahwa strategi pencadangan minyak bumi Indonesia saat ini berada pada posisi kritis. Hal tersebut diindikasikan dengan posisi cadangan dan rasio penggantian yang berada di bawah angka patokan tertinggi nasional yang ditetapkan oleh Dewan Energi Nasional.[2]

Menurut Group Chief Economist, Spencer Dale, dalam Diskusi Statistical Review of World Energy 2017, Konsumsi Energi RI meningkat 5,9% di tahun 2016 meliputi minyak, gas, dan batu bara. Konsumsi energi Indonesia mencapai 175,04 juta tonnes setara minyak (Million Tonnes Oil Equivalent/MTOE) dari tahun sebelumnya 164,83 MTOE. Konsumsi energi tumbuh lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) tahun lalu sekitar 5%, sementara pertumbuhan konsumsi energi (hampir) 6%. Permintaan energi tumbuh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan PDB, hal ini jarang ditemui di negara lain. Konsumsi energi terbesar Indonesia di 2016 masih didominasi oleh minyak bumi 41%, batu bara 36%, dan gas 19%. Sementara produksi minyak di Indonesia hanya mampu mencukupi 55% dari kebutuhan konsumsi dalam negeri

Besarnya permintaan energi Indonesia berpengaruh terhadap besarnya defisit akan ketersediaan minyak bumi. Misalnya pada tahun 2014 lalu produksi minyak nasional hanya mencapai 794 ribu barel per hari. Sedang konsumsi minyak dan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia sebesar  1,66 juta barel per hari. Kekurangannya, sekitar 850 ribu barel per hari, dipenuhi dengan impor minyak mentah sejumlah 300 ribu barel per hari dan impor BBM 550 ribu barel per hari. Pada tahun 2025, kebutuhan minyak akan mencapai 1,90 juta barel per hari. Sementara dari sisi pasokannya, jika tidak ditemukan cadangan minyak baru maka diperkirakan hanya mencapai 453 ribu barel per hari. Hal ini karena produksi minyak nasional terus menurun. Dengan demikian terjadi defisit sejumlah 1,45 juta barel per hari. Defisit besar inilah yang kemudian menjadi salah satu tantangan ketahanan energi dan harus diupayakan pemenuhannya.

Realitas bahwa dunia tengah mengarah pada penggunaan gas dan energi terbarukan  yang cenderung ramah lingkungan menuju tahun 2030 juga berpengaruh terhadap isu ketahanan energi di Indonesia. Dalam Dasawarsa terakhir, inovasi mengenai teknologi pengeboran horizontal dan perekahan hidrolik telah membuka akses terhadap cadangan minyak dan gas yang sebelumnya tidak ekonomis untuk di eksploitasi. Misalnya, Produk shale gas di Amerika Serikat telah meningkat pesat sejak tahun 2010. Dari sekitar 10bcfd (bilion cubic feet per day) di akhir tahun 2009 menjadi sekitar 40bcfd pada tahun 2016. Menurut US Energy Information Administration (EIA), bauran penggunaan energi (energy mix) akan berubah secara signifikan. Penggunaan gas dan energi terbarukan akan meningkat sementara konsumsi batu bara akan menurun dan konsumsi minyak mentah akan relatif stagnan.

Menurut International Energy Agency (IEA), ditengah penggunaan gas dan energi terbarukan di dunia, kontribusi batu bara terhadap total penggunaan energi terbarukan di dunia diproyeksikan turun dari 41% di tahun 2014 menjadi 36% pada tahun 2021.[3] Misalnya kebutuhan batu bara di Tiongkok, yang nyatanya selama ini menyumbang sekitar 50% dari permintaan batu bara dunia terus mengalami penurunan menjelang tahun 2040. Penurunan tersebut seiring dengan selesainya era pembangunan infrastruktur besar-besaran dan juga ketatnya standar pelestarian lingkungan di negara tersebut.

Pada akhirnya, telah dibuat pemangkasan penggunaan batu bara yang tertuang dalam rencana pembangunan lima tahun pada sektor energi tahun 2015-2020. Pembangkit listrik yang masih menggunakan energi batu bara ditutup dan mulai digantikan dengan pembangkit listrik tenaga air, angin, matahari, dan nuklir. Sedangkan, Intensitas penggunaan batu bara untuk PLTU juga akan menurun seiring dengan penggunaan teknologi PLTU Ultra-Supercritical yang lebih efisien. Hal tersebut tentunya sangat berpengaruh terhadap melemahnya produksi batu bara di Indonesia yang selama ini telah menjadi produk ekspor andalan. Maka dari itu, ketergantungan terhadap ekspor batu bara di Indonesia tidak relevan lagi jika dilihat dalam kurun waktu 10 tahun kedepan menuju tahun 2030.

Trend revolusi energi juga dipercepat oleh penggunaan energi terbarukan. Contoh sederhananya adalah meningkatnya pertumbuhan pada konsumsi mobil bertenaga listrik. Pada tahun 2015, penjualan kumulatif sudah mencapai angka 1 juta unit dari 5 tahun sebelumnya yang hampir tidak ada. Penjualan terbesar adalah AS dan Tiongkok. Diprediksi, minat terhadap mobil bertenaga listrik juga akan meningkat seiring dengan inovasi yang membaik, kebijakan yang mendukung, dan didukung dengan harga yang semakin ekonomis

Secara umum, pemanfaatan energi terbarukan serta peningkatan efesiensi penggunaan energi akan berakibat pada menurunnya permintaan dunia terhadap bahan bakar fosil tradisional. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia dimana selama ini masih mengandalkan berbagai komoditas primer sebagai ekspor utamanya. Ekspor komoditas primer merupakan sumber devisa utama Indonesia dimana aliran devisa tersebut sangatlah penting bagi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan adanya kecenderungan ini, jumlah produksi energi primer akan menurun karena trend konsumsi energi dunia akan beralih kepada energi terbarukan. Sama juga halnya di Indonesia, Konsumsi energi baru terbarukan (EBT) pada 2016 lalu juga tumbuh 7,1% atau tertinggi dalam 10 tahun terakhir dengan rata-rata 4,7%. Namun, porsi EBT dalam konsumsi energi baru mencapai 1%. Selain itu, penurunan ini juga akan berdampak pada susutnya Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) secara signifikan.

Perspektif yang menekankan pada penggunaan jangka panjang perlu dilihat demi ketahanan energi Indonesia. Dengan memperhatikan situasi dimana saat ini Indonesia tengah mengalami masa krisis energi perlu dicari solusi dengan memikirkan pemanfaatan jangka panjang. Mengingat potensi sumber energi tradisional akan habis dengan melihat jumlah populasi indonesia yang kian membengkak. Berbagai upaya pengoptimalan sumber daya perlu di kaji lebih jauh mengingat Indonesia juga kaya akan potensi sumber daya energi khususnya energi baru terbarukan. Menteri ESDM, Sudirman Said menyatakan bahwa Konservasi Energi merupakan solusi yang saat ini dapat dilakukan oleh Indonesia seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan populasi. Ia mengatakan bahwa menghemat energi jauh lebih murah daripada harus menambah produksi untuk mengimbangin konsumsi energi akibat pemborosan.[4]
 
Selain itu, menurut Wawan Supriatna, Sekretaris Direktorat Jenderal EBTKE, Energi baru dan terbarukan (EBT) selain berguna untuk menjawab masalah lingkungan, juga sangat penting untuk wujudkan ketahanan energi di masa depan. Terlebih, Indonesia memiliki potensi EBT sebesar lebih dari 441 GW, yang sejauh ini baru terealisasi sebesar 8,89 GW. Potensi itu meliputi panas bumi, air, bioenergi, surya, angin dan laut.[5] Selain itu, pengembangan energi berbasis tanaman atau Bahan Bakar Nabati (BBN) merupakan salah satu solusi dalam menjawab tantangan defisit energi di Indonesia, mengingat Indonesia kaya akan tanaman energi seperti misalnya minyak kelapa sawit (CPO) yang tersebar di beberapa pulau seperti sumatera dan kalimantan.

Hal yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan pengoptimalan energi di Indonesia adalah melalui penghematan energi dengan melakukan kampanye untuk mendukung kebijakan dan program pemerintah terkait dengan investasi di bidang energi terbarukan yang dapat dikemas dalam konservasi energi.[6] Selain itu, diperlukan strategi inovatif untuk menunjang ketersediaan energi dengan pemanfaatan energi terbarukan, mengingat sumber daya ini dapat bertahan tanpa harus terkendala dengan keterbatasan cadangan energi. Misalnya dalam hal ketersediaan listrik, Indonesia harus mulai menggalakkan pemanfaatan sumber terbarukan dengan mengoptimalkan potensi yang ada. 
 
Dalam hal ini misalnya pemerintah melalui Kementrian ESDM telah meluncurkan aksi yang positif dalam menanggulangi masalah kelistrikan ini. Melalui Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) yang memanfaatkan energi dari matahari yang tujukan bagi daerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal) yang masih sulit untuk dibangun infrastruktur listik. Walaupun listrik yang dihasikan belum bisa dimanfaatkan untuk keperluan banyak namun pemanfaatan energi terbarukan ini merupakan langkah yang baik dan inovatif karena melihat potensi Indonesia yang dilintasi garis khatulistiwa yang artinya dilewati matahari relatif setiap tahun dengan intensitas radiasi sebesar 4,80 kWh/m2/hari

Selain itu, pemerintah bersama-sama dengan perusahaan swasta harus mendukung program-program yang sifatnya inovatif misalnya dengan menyelenggarakan kompetisi bagi para pemuda baik mahasiswa, akademisi maupun pihak lainnya dalam pengembangan inovasi dibidang teknologi yang mengarah pada pengoptimalan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan sehingga dapat menjawab tantangan ketahanan energi Indonesia menuju tahun 2030.



Referensi:

Dale Spencer. [2017]. Discussion of Statistical Review of World Energy. Group Chief Economist.
Doddy Budy Waluyo. [2017]. Pengantar Ekonomi Makro Sumber-Sumber Pertumbuhan
Ekonomi Baru. Jakarta: Kontan Publishing.
International Energy Agency. [2016]. World Energy Outlook.
Mathai, Koshy dan Gottlieb, Geoff dan Hong, Gee Heed dan Jung, Sung Eun dan Schmittmann,
Jochen dam Yu, Jungyan. [2016]. China’s Changing Trade and Implications for the CLMV Economie., International Monetory Fund.






[1] Lihat Jurnal KESDM, 2016 Edisi 2. diakses pada tanggal 18 Maret 2018

[2] Lihat  www.den.go.id diakses pada tanggal 18 Maret 2018

[3] Lihat World Energy Outlook 2016, IEA diakses pada tanggal 18 Maret 2018




[6] Lihat www.esdm.go.id Diakses Pada Tanggal 18 Maret 2018





Komentar

  1. apakah masa depan indonesia akan seperti ini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks Ali udah berkunjung di blog saya... terkait pertanyaanmu, jawabannya adalah masa depan indonesia akan seperti demikian jika Indonesia dapat memanfaatkan pontensi dengan optimal. :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia Mitra Sejati Perdamaian Dunia

Konsepsi Halal Tourism New Generation untuk Menyongsong Banten Bermartabat di Era Keberlimpahan (Abundance) 2035-2040